Sunday, March 20, 2016

2 Mahasiswi yang Melacurkan Diri




Sebuah novel yang berdasar kejadian nyata, tentang sosok-sosok yang merangkak dalam gelap gulita kehidupan ini. Selain mendapatkan data utama, selalu saja ada ''materi ikutan'' yang tidak secara langsung berkaitan dengan data yang saya butuhkan, tapi bisa ''memperkaya nuansa''. Semalam misalnya, ada dua mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta yang tarik urat leher, dan nyaris adu fisik. Keduanya saya kenal pernah menjadi ''anak-anak'' seorang Mami (istilah lain untuk germo) yang dalam kehidupan sehari-harinya dikenal sebagai seorang artis. Tapi, rupanya, keduanya sudah melepaskan diri, karena merasa bisa menemui pelanggan/pemelacur sendiri tanpa perantaraan Mami, yang bisa memotong penghasilan hingga 50%. Atau, kalau tidak sendiri, bisa meminta bantuan sesama teman kuliah yang ''berprofesi sampingan'' sama. Ada juga yang meminta bantuan pacarnya, atau lebih tepatnya ''ditawarkan'' kepada orang lain oleh
pacarnya sendiri, yang juga berstatus mahasiswa. Kok, menjual pacarnya sendiri? Bagi saya yang pernah membuat penelitian selama dua tahun tentang hal itu untuk bahan skripsi, itu bukan sesuatu yang aneh lagi. Kekasih atau suami yang sekaligus menjadi mucikari, adalah bagian dari rangkaian ''kehidupan'' dunia pelacuran. Semalam, sebut saja, A mengajak B untuk menemui lelaki yang memesan layanan seksualnya. ''Dia ngajak threesome,'' jelas A. B, nama mahasiswi yang lain, mau-mau saja, toh bayarannya tidak berkurang. Dan, juga sudah biasa dengan ''main bertiga'' itu. Entah kenapa, sang pemelacur berubah niat dan hanya mau dengan B. A mengalah dan menunggu di coffee shop, di mana saya sedang duduk. Saya pun mengajaknya semeja, dan menawarkan minum. Dari sekitar jam 23.45 sampai dengan 01.30, kami berbincang-bincang. B kemudian muncul bergabung. Entah kenapa, belum lagi B meletakkan pantatnya di kursi, A sudah menagih ''jatahnya''. ''Kan saya yang mengajakmu ketemu dia. Rejeki saya mana?'' sergah A.




B rupanya paham, bahwa meski A adalah temannya, penghasilannya harus dibagi dengan A yang mengajaknya bertemu pemelacur yang baru dilayaninya. Biasanya, menurut B hanya 10 - 15 persen dari ''nilai transaksi''. Jauh lebih kecil bila dibagi dengan Mami. Tapi kali ini A meminta lebih. ''Jangan potong rejeki saya, kamu harus kasih saya Rp 500.000!'' Rupanya, B mendapat bayaran Rp 2 juta untuk pelayanan singkat (maksimal 3 jam), dan A meminta jatah 25%. Terlepas dari ''pertengkaran'' semalam, timbul tanya dalam hati saya, ada berapa banyak mahasiswi yang berlatar belakang kelas menengah seperti A dan B ini, yang melacurkan diri? Dan seberapa banyak orangtua yang sama sekali tidak menanyakan keberadaan anaknya, yang ke luar malam hingga pukul 2 - 3 dinihari? Dari pembicaraan semalam, saya tahu bahwa B melakukan semua ini bukan karena butuh uang untuk biaya kuliah atau membeli buku pelajaran. Tapi, ''Mau jalan-jalan sama teman, berlibur. Tahuan baruan ke Hong Kong''. Dan, berangkat berliburnya, di antaranya, bersama A.

Saya belum mendapat jawaban atas pertanyaan itu, karena pikiran saya buyar oleh kedatangan seorang pemuda, yang saya kenal sebagai pacar A. Keduanya sangat mesra. Lelaki itu mendaratkan ciuman di bibir A dan bertanya, ''Sudah selesai?'' Lalu keduanya pamit meninggalkan kami. Tak lama kemudian, B juga dijemput pacarnya. Tinggallah saya berteman segelas kopi pahit! Ini bukan bagian dari novel saya, yang akan segera terbit. Tapi sepenggal kisah nyata yang saya alami semalam. Selamat bermalam Minggu. Masihkah kita menjalani ''tradisi'' makan malam semeja dengan keluarga kita. Dan berbagi cerita satu sama lain tentang apa yang kita jalani seharian tadi? Sebagai orangtua, apa sikap Anda jika anak gadis Anda bercerita, ''Saya semalam baru saja melayani Tuan A di Hotel anu''. Atau anak lelaki Anda berujar, ''Tadi malam saya antar jemput pacar saya ke hotel, dia lagi dapat orderan melayani Tuan A?''

No comments:

Post a Comment